Senin, 11 Maret 2024

Surau Paseban dan Surau Gadang Kajang Padati Ikua Koto: Persenyawaan Budaya dan Islam

Surau Gadang Kajang Padati Ikua Koto
SAAT mantagisme mendatangi Surau Gadang di Koto Panjang, Ikua Koto, Koto Tangah, Kota Padang, Kamis, 9 Mei 2019, perspektif pertama kali yang muncul ialah seorang ulama besar kharismatik bernama Syekh Paseban, yang lahir di kampung sederhana ini. Surau Gadang itu juga disebut Surau Syekh Paseban.

Nama lengkap ulama ini Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu, seorang tokoh ulama Islam aliran Syattariyyah, lahir pada tahun 1234 Hijriah atau 1817 Masehi. Nama kecilnya adalah Karaping, gelar Sidi Alim, bersuku Piliang.

Surau tersebut terletak di tengah-tengah pemukiman wargabersisian dengan Masjid Al Adami.  Surau tersebut memiliki bentuk bangunan seperti rumah panggung, terdapat kolam di bawah kolong surau.

Ada jenjang di pintu utamanya, jenjang menjadi penghubung antara tanah dengan pintu utama surau. Surau tersebut memiliki berjenis surau kayu.  Ada tiga pintu surau, di depan dan dua di samping surau.

Bangunan rumah Surau Gadang Al Adami seperti arsitektur Kajang Padati adalah rumah gadang di Minangkabau yang tidak memiliki atap berbentuk gonjong, melainkan mengadopsi bentuk atap pedati yang berupa atap pelana, namun melancip di ujung-ujungnya.

Tidak diketahui dengan pasti kapan didirikan Surau Gadang itu. Hendra Joni salah seorang pengurus surau itu menceritakan, surau itu sudah ada sebelum Tuanku Paseban lahir.

"Surau ini pada zaman nenek dari Tuanku Paseban. Jika diperkirakan sekitar tahun 1775," ucapnya kepada Khazanah.

Hendra berkisah tanah yang dijadikan surau tersebut mulanya ditumbuhi oleh empat pohon kayu besar.

"Dulunya di sana ada 4 kayu besar. Kayu tersebut ditebang dijadikan tonggak, tonggak yang empat di tengah surau itu. Saya juga tidak tahu pasti jenis kayunya, tapi mungkin kayu banio," ungkapnya.

Dulu sebagaimana fungsi surau pada umumnya di Minangkabau tidak hanya tempat aktivitas keagamaan tapi juga kemasyarakatan.

"Jika dulu semuanya aktivitas di surau, randai, pendidikan, rapat adat dan rapat kaum kan di Surau," tuturnya.

Hingga kini, menurut Hendra, fungsi Surau Gadang sebagai pusat aktivitas masyarakat tidak sepenuhnya memudar.

"Yang tidak berubah dan masih terus dilakukan yaitu tradisi basalawat dulang di surau. Kami setiap tahun sejak 1967, sampai sekarang masih melaksanakan salawat dulang," urainya. “Dan  setiap selasa, ada senam lansia di pekarangan surau," tambanya.

Sementara itu, untuk aktivitas keagamaan antara Surau Gadang dan Masjid Al Adami memiliki fungsi yang proporsional. Keduanya dipakai, pernah satu kali waktu yang dipakai salah satunya saja, tapi surau jadi lapuk.

"Masjid dipakai untuk salat Zuhur, Asyar, dan Jumat. Sedangkan surau dipakai untuk salat Subuh, Magrib, dan Isya juga salat Tarawih. Kegiatan MDA di surau dan di masjid," ucapnya.

Seiring bertambah tahun, Surau Gadang juga dimakan lapuk, beberapa kayu di lantai tampak di makan rayap. Bagunan surau menjadi sedikit miring. Bedug  yang terletak di halaman surau sudah tidak berfungsi lagi sebab dimakan rayap, namun daya tampung surau tersebut lebih besar dari masjid batu di belakangnya.

"Surau itu kapasitasnya sekitar 150, sementara masjid hanya sanggup menampung sekitar 75 orang," jelasnya.

Menurut Hendra, tidak ada perubahan bentuk surau dari tahun ke tahun. Tidak ada renovasi yang besar, bentuk bangunan dipertahankan dengan bentuk aslinya.

Surau Paseban

Surau Paseban

Berjarak sekitar seratus meter dari Surau Gadang, berdiri kokoh Surau Paseban yang umur antar kedua surau itu tidak jauh berbeda. Surau kayu tersebut dibangun oleh
Syekh Tuangku Paseban, seorang ulama besar. Saat Khazanah berkunjung, sedang berlangsung pembangunan teras surau.

"Ini ada penambahan teras. Meski ada pembangunan, sama halnya dengan Surau Gadang, tidak ada perubahan besar pada bentuk surau. Kita boleh menambah tetapi tidak boleh merusak keaslian surau," ujar Edi salah seorang pekerja yang merupakan warga setempat.

"Atap bagonjong. Tidak boleh diubah. Jenjang pun masih dari yang lalu. Tonggak kayu asli," tambah Zul Asri salah seorang ulama di Surau Paseban.

"Surau ini dibangun oleh Syekh Tuangku Paseban sekitar tahun  1831," ucap Zul Asri.

Dikisahkan oleh Zul, surau tersebut berdiri di tanah bekas penjara peninggalan pendudukan kolonial Belanda. Paseban artinya merupakan penjara.

"Dari arti penjara tersebut, kemudian timbul makna bahwa Surau Paseban sebagai tempat berdiam diri, tempat memenjarakan diri menghindari hawa nafsu," jelasnya.

Saat mantagisme berkunjung juga tengah dilaksanakan tradisi suluk di Surau Paseban. Suluk merupakan tradisi berdiam diri dan tinggal di masjid selama 40 hari yang dilakukan oleh jamaah Tarekat Naqsabandiyah. Terlihat jamaah didominasi oleh perempuan yang berusia lebih dari 50 tahun.

"Sekarang sedang ada sumbayang 40 sudah berlangsung 15 hari, nanti berakhir menjelang Idulfitri. Dalam setahun kita melaksanakan sumbayang 40 sebanyak 4 kali," tuturnya.

Zul Asri juga memperlihatkan kepada Khazanah, naskah kuno yang disimpan di Surau Paseban. "Beberapa naskah dapat terselamatkan, lebihnya sama sekali tidak bisa disentuh karena telah hancur," tutupnya.  sonia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar