Surau Gadang Kajang Padati Ikua Koto |
Nama lengkap ulama ini Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu, seorang tokoh ulama Islam aliran Syattariyyah, lahir pada tahun 1234 Hijriah atau 1817 Masehi. Nama kecilnya adalah Karaping, gelar Sidi Alim, bersuku Piliang.
Surau tersebut
terletak di tengah-tengah pemukiman wargabersisian dengan Masjid Al Adami. Surau tersebut memiliki bentuk bangunan
seperti rumah panggung, terdapat kolam di bawah kolong surau.
Ada jenjang di
pintu utamanya, jenjang menjadi penghubung antara tanah dengan pintu utama
surau. Surau tersebut memiliki berjenis surau kayu. Ada tiga pintu surau, di depan dan dua di
samping surau.
Bangunan rumah
Surau Gadang Al Adami seperti arsitektur Kajang Padati adalah rumah gadang di
Minangkabau yang tidak memiliki atap berbentuk gonjong, melainkan mengadopsi
bentuk atap pedati yang berupa atap pelana, namun melancip di ujung-ujungnya.
Tidak diketahui
dengan pasti kapan didirikan Surau Gadang itu. Hendra Joni salah seorang
pengurus surau itu menceritakan, surau itu sudah ada sebelum Tuanku Paseban
lahir.
"Surau ini
pada zaman nenek dari Tuanku Paseban. Jika diperkirakan sekitar tahun
1775," ucapnya kepada Khazanah.
Hendra berkisah
tanah yang dijadikan surau tersebut mulanya ditumbuhi oleh empat pohon kayu
besar.
"Dulunya di
sana ada 4 kayu besar. Kayu tersebut ditebang dijadikan tonggak, tonggak yang
empat di tengah surau itu. Saya juga tidak tahu pasti jenis kayunya, tapi
mungkin kayu banio," ungkapnya.
Dulu sebagaimana
fungsi surau pada umumnya di Minangkabau tidak hanya tempat aktivitas keagamaan
tapi juga kemasyarakatan.
"Jika dulu
semuanya aktivitas di surau, randai, pendidikan, rapat adat dan rapat kaum kan
di Surau," tuturnya.
Hingga kini,
menurut Hendra, fungsi Surau Gadang sebagai pusat aktivitas masyarakat tidak
sepenuhnya memudar.
"Yang tidak
berubah dan masih terus dilakukan yaitu tradisi basalawat dulang di surau. Kami setiap tahun sejak 1967, sampai
sekarang masih melaksanakan salawat dulang," urainya. “Dan setiap selasa, ada senam lansia di pekarangan
surau," tambanya.
Sementara itu, untuk
aktivitas keagamaan antara Surau Gadang dan Masjid Al Adami memiliki fungsi
yang proporsional. Keduanya dipakai, pernah satu kali waktu yang dipakai salah
satunya saja, tapi surau jadi lapuk.
"Masjid
dipakai untuk salat Zuhur, Asyar, dan Jumat. Sedangkan surau dipakai untuk
salat Subuh, Magrib, dan Isya juga salat Tarawih. Kegiatan MDA di surau dan di
masjid," ucapnya.
Seiring bertambah
tahun, Surau Gadang juga dimakan lapuk, beberapa kayu di lantai tampak di makan
rayap. Bagunan surau menjadi sedikit miring. Bedug yang terletak di halaman surau sudah tidak
berfungsi lagi sebab dimakan rayap, namun daya tampung surau tersebut lebih
besar dari masjid batu di belakangnya.
"Surau itu
kapasitasnya sekitar 150, sementara masjid hanya sanggup menampung sekitar 75
orang," jelasnya.
Menurut Hendra,
tidak ada perubahan bentuk surau dari tahun ke tahun. Tidak ada renovasi yang
besar, bentuk bangunan dipertahankan dengan bentuk aslinya.
Surau Paseban
Surau Paseban |
Berjarak sekitar seratus meter dari Surau Gadang, berdiri kokoh Surau Paseban yang umur antar kedua surau itu tidak jauh berbeda. Surau kayu tersebut dibangun oleh Syekh Tuangku Paseban, seorang ulama besar. Saat Khazanah berkunjung, sedang berlangsung pembangunan teras surau.
"Ini ada
penambahan teras. Meski ada pembangunan, sama halnya dengan Surau Gadang, tidak
ada perubahan besar pada bentuk surau. Kita boleh menambah tetapi tidak boleh
merusak keaslian surau," ujar Edi salah seorang pekerja yang merupakan
warga setempat.
"Atap
bagonjong. Tidak boleh diubah. Jenjang pun masih dari yang lalu. Tonggak kayu
asli," tambah Zul Asri salah seorang ulama di Surau Paseban.
"Surau ini
dibangun oleh Syekh
Tuangku Paseban sekitar
tahun 1831," ucap Zul Asri.
Dikisahkan oleh
Zul, surau tersebut berdiri di tanah bekas penjara peninggalan pendudukan kolonial
Belanda. Paseban artinya merupakan penjara.
"Dari arti penjara
tersebut, kemudian timbul makna bahwa Surau Paseban sebagai tempat berdiam
diri, tempat memenjarakan diri menghindari hawa nafsu," jelasnya.
Saat mantagisme berkunjung juga tengah
dilaksanakan tradisi suluk di Surau Paseban. Suluk merupakan tradisi berdiam
diri dan tinggal di masjid selama 40 hari yang dilakukan oleh jamaah Tarekat
Naqsabandiyah. Terlihat jamaah didominasi oleh perempuan yang berusia lebih
dari 50 tahun.
"Sekarang
sedang ada sumbayang 40 sudah berlangsung 15 hari, nanti berakhir menjelang Idulfitri.
Dalam setahun kita melaksanakan sumbayang 40 sebanyak 4 kali," tuturnya.
Zul Asri juga memperlihatkan kepada Khazanah, naskah kuno yang disimpan di Surau Paseban. "Beberapa naskah dapat terselamatkan, lebihnya sama sekali tidak bisa disentuh karena telah hancur," tutupnya. sonia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar