Senin, 11 Maret 2024

MASJID GODANG KOTO NAN OMPEK PAYOKUMBUAH: Kebangkitan Islam Minangkabau Pasca-Padri

 

OLEH Sheiful Y Tuanku Mangkudun

Masjid Godang Koto Nan Ompek Payokumbuah
DI pinggir sawah, dengan dua tobek (kolam) sebelah selatan dan sebelah barat, posisi Masjid Gadang Koto nan Ompek menjadi titik penyeimbang antara perkampungan penduduk dengan pesawahan.  Pelataran yang luas tersambung dengan bagian ujung jalan Ujung Pandang, sekitar 200 meter sebelah kanan jalan raya Bukittinggi Payakumbuh, 120 kilometer dari Kota Padang.

Menurut budayawan H C Israr, Belanda menguasai Payakumbuh tahun 1823, dua tahun setelah perang sesama orang Minangkabau berakhir, dan Belanda memperoleh akses ke wilayah Darek, termasuk Payakumbuh.

Dalam rangka akses tersebut Belanda mengangkat Sutan Chedoh (= kidal?-- pen), salah seorang penghulu andiko di Koto nan Ompek, menjadi regent (setingkat bupati) di Payakumbuh. Masa itu dibangun Istana Regent, yang sekarang bernama Rumah Gadang Balai Nan Duo, dahulunya disebut juga Rumah Gadang Sutan Chedoh.

Keislaman masyarakat tidak surut, walaupun pasukan Paderi sudah dikalahkan, bahkan Tuanku Imam Bonjol sudah ditangkap Belanda. Pascaperang itulah para penghulu di Koto nan Ompek memprakarsai pembangunan masjid godang di atas tanah wakaf dari sejumlah kaum: kaum Datuk Rajo Mantiko Alam, kaum Datuk Bangso Dirajo Nan Hitam, kaum Datuk Paduko Majo Lelo, dan kaum Datuk Sinaro Kayo.

Abdul Baqir Zein dalam bukunya Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, memperkirakan pembangunan masjid ini berlangsung pada tahun 1840M. Pembangunan dipimpin oleh tiga orang penghulu: Datuk Kuniang suku Kampai, Datuk Pangka Sinaro suku Piliang, dan Datuk Siri Dirajo suku Malayu.

Berada di Kelurahan Balai Nan Duo, sehingga juga sering disebut  Masjid Godang Balai Nan Duo, bangunan utama masjid didampingi perpustakaan, TPA, rumah penjaga masjid di sisi selatan, dan tempat berwuduk, di sudut selatan bagian timur.

Regent Chedoh yang diangkat Belanda tampaknya berada di pihak masyarakat. Belanda boleh punya akses ke Payakumbuh, tapi kebangkitan masyarakat Islam tidak ada alasan sang regent menghambatnya.

Sebelah utara masjid terdapat sebuah bangunan dari bata berbentuk kerucut, konon itu makam Sutan Chedoh, sang regent. Kalau itu benar makamnya, maka tentulah dia berada di tengah masyarakat ketika pembangunan masjid itu berlangsung.

Atap masjid berundak-undak sebanyak tiga tingkat dengan permukaan yang melentik, lebih cepat mengalirkan air hujan ke bawah. Atap tumpang tiga yang dulunya beratap ijuk, sekarang sudah diganti seng, dan dicat merah bata. Di puncaknya dipasang mustoko runcing dengan tiga kali tiga tingkat butiran sebentuk sate, 3 besar, 3 sedang, dan 3 butiran kecil. Antar atap diberi dinding papan yang berukiran hias bunga matahari.

Cat dinding sudah mengalami perubahan beberapa kali. Pernah dinding tersebut diberi cat berwarna biru langit sampai tahun 2016. Tahun berikutnya dirubah dengan warna kuning. Terakhir cat dinding luar dominan warna coklat muda.

Kesan klasik yang cerah, sekaligus gembira pada warna dinding dan lingkungan yang terbuka. Kegembiraan yang juga tercermin pada wajah anak-anak kelurahan Balai Nan Duo bermain dan bersepeda sepanjang jalan Ujung Pandang sampai ke halaman masjid yang lega.

Pintu utama dan satu-satunya berada di sebelah selatan masjid, berhadapan dengan bangunan tempat tinggal penjaga masjid. Anak tangga semen melingkar dilapisi keramik putih seluas 7 x 4 meter. Masjid ini berbentuk persegi, hampir bujur sangkar, berukuran 17,6 m x 17,9 m, berdiri di atas tanah seluas 31 m x 50 m.

Dinding, loteng dan lantai masjid menggunakan kayu. Disangga 21 buah tiang berjejer dari kayu bulat. Di puncak tiang ada ornamen mahkota. Ada empat tiang menggantung, puncaknya tidak menyentuh langit-langit. Mihrab di sisi utara berukuran 6,5 m x 1,7 m disertai dengan mimbar.

Tercatat di Kantor Urusan Agama Payakumbuh Barat dengan No. Inventaris : 344/BCB–TB/SMB. Masjid Godang Koto nan Ompek Payakumbuh berdekatan dengan Gedung Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Nan Ompek. Pengunjung dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dari pusat kota.

Pelataran luas itu ramai dengan mobil jamaah kala waktu shalat Magrib tiba. Masjid berusia hampir 200 tahun ini masih dipakai untuk semua kegiatan ibadah, termasuk untuk kegiatan Jumat, shalat dua hari raya, dan peringatan hari besar Islam, termasuk kegiatan musabaqah berbagai tingkatan. 

Pohon-pohon kelapa yang berbaris bagai penjaga, posisi pertengahan antara pesawahan dan perumahan, udara Payakumbuh yang cukup sejuk dan belum tidak terlalu terpapar polusi, adalah gambaran yang membangkitkan semangat.

Menjelang waktu Magrib, mobil-mobil jamaah berdatangan dari dua arah, dari timur masuk melalui jalan Kalimantan, dan dari utara melalui jalan Ujung Pandang. Beberapa mobil dengan plat nomor luar propinsi Sumbar terlihat ikut mengambil posisi parkir menghadap ke masjid godang. Ini memang termasuk masjid persinggahan favorit bagi para pengelana dan perantau yang pulang kampung.

Azan Magrib berkumandang dari Toa, delapan buah pengeras suara yang dipasang di ruang antar tingkat dua dan tingkat dua atap. Aap yang menjulang itu sekaligus berfungsi sebagai menara. Masjid ini memang tidak mempunyai menara.

Suasana ramai tapi syahdu. Mengingatkan semangat kebangkitan Islam di masyarakat adat, pasca-Perang Paderi. n

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar