OLEH Sheiful Y Tuanku Mangkudun
Masjid Godang Koto Nan Ompek Payokumbuah |
Menurut budayawan H C Israr, Belanda menguasai Payakumbuh tahun 1823, dua tahun setelah perang sesama orang Minangkabau berakhir, dan Belanda memperoleh akses ke wilayah Darek, termasuk Payakumbuh.
Dalam rangka akses tersebut Belanda
mengangkat Sutan Chedoh (= kidal?-- pen), salah seorang penghulu andiko di Koto
nan Ompek, menjadi regent (setingkat bupati) di Payakumbuh. Masa itu dibangun Istana
Regent, yang sekarang bernama Rumah Gadang Balai Nan Duo, dahulunya disebut
juga Rumah Gadang Sutan Chedoh.
Keislaman masyarakat tidak surut,
walaupun pasukan Paderi sudah dikalahkan, bahkan Tuanku Imam Bonjol sudah
ditangkap Belanda. Pascaperang itulah para penghulu di Koto nan Ompek
memprakarsai pembangunan masjid godang di atas tanah wakaf dari sejumlah kaum: kaum
Datuk Rajo Mantiko Alam, kaum Datuk Bangso Dirajo Nan Hitam, kaum Datuk Paduko
Majo Lelo, dan kaum Datuk Sinaro Kayo.
Abdul Baqir Zein dalam bukunya
Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, memperkirakan pembangunan masjid ini berlangsung
pada tahun 1840M. Pembangunan dipimpin oleh tiga orang penghulu: Datuk Kuniang
suku Kampai, Datuk Pangka Sinaro suku Piliang, dan Datuk Siri Dirajo suku
Malayu.
Berada di Kelurahan Balai Nan
Duo, sehingga juga sering disebut Masjid
Godang Balai Nan Duo, bangunan utama masjid didampingi perpustakaan, TPA, rumah
penjaga masjid di sisi selatan, dan tempat berwuduk, di sudut selatan bagian
timur.
Regent Chedoh yang diangkat
Belanda tampaknya berada di pihak masyarakat. Belanda boleh punya akses ke
Payakumbuh, tapi kebangkitan masyarakat Islam tidak ada alasan sang regent
menghambatnya.
Sebelah utara masjid terdapat
sebuah bangunan dari bata berbentuk kerucut, konon itu makam Sutan Chedoh, sang
regent. Kalau itu benar makamnya, maka tentulah dia berada di tengah masyarakat
ketika pembangunan masjid itu berlangsung.
Atap masjid berundak-undak
sebanyak tiga tingkat dengan permukaan yang melentik, lebih cepat mengalirkan
air hujan ke bawah. Atap tumpang tiga yang dulunya beratap ijuk, sekarang sudah
diganti seng, dan dicat merah bata. Di puncaknya dipasang mustoko runcing dengan
tiga kali tiga tingkat butiran sebentuk sate, 3 besar, 3 sedang, dan 3 butiran
kecil. Antar atap diberi dinding papan yang berukiran hias bunga matahari.
Cat dinding sudah mengalami
perubahan beberapa kali. Pernah dinding tersebut diberi cat berwarna biru
langit sampai tahun 2016. Tahun berikutnya dirubah dengan warna kuning.
Terakhir cat dinding luar dominan warna coklat muda.
Kesan klasik yang cerah,
sekaligus gembira pada warna dinding dan lingkungan yang terbuka. Kegembiraan
yang juga tercermin pada wajah anak-anak kelurahan Balai Nan Duo bermain dan
bersepeda sepanjang jalan Ujung Pandang sampai ke halaman masjid yang lega.
Pintu utama dan satu-satunya
berada di sebelah selatan masjid, berhadapan dengan bangunan tempat tinggal
penjaga masjid. Anak tangga semen melingkar dilapisi keramik putih seluas 7 x 4
meter. Masjid ini berbentuk persegi, hampir bujur sangkar, berukuran 17,6 m x
17,9 m, berdiri di atas tanah seluas 31 m x 50 m.
Dinding, loteng dan lantai masjid
menggunakan kayu. Disangga 21 buah tiang berjejer dari kayu bulat. Di puncak
tiang ada ornamen mahkota. Ada empat tiang menggantung, puncaknya tidak menyentuh
langit-langit. Mihrab di sisi utara berukuran 6,5 m x 1,7 m disertai dengan
mimbar.
Tercatat di Kantor Urusan
Agama Payakumbuh Barat dengan No. Inventaris : 344/BCB–TB/SMB. Masjid Godang
Koto nan Ompek Payakumbuh berdekatan dengan Gedung Kerapatan Adat Nagari (KAN)
Koto Nan Ompek. Pengunjung dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda
empat dari pusat kota.
Pelataran luas itu ramai
dengan mobil jamaah kala waktu shalat Magrib tiba. Masjid berusia hampir 200
tahun ini masih dipakai untuk semua kegiatan ibadah, termasuk untuk kegiatan
Jumat, shalat dua hari raya, dan peringatan hari besar Islam, termasuk kegiatan
musabaqah berbagai tingkatan.
Pohon-pohon kelapa yang
berbaris bagai penjaga, posisi pertengahan antara pesawahan dan perumahan,
udara Payakumbuh yang cukup sejuk dan belum tidak terlalu terpapar polusi,
adalah gambaran yang membangkitkan semangat.
Menjelang waktu Magrib,
mobil-mobil jamaah berdatangan dari dua arah, dari timur masuk melalui jalan
Kalimantan, dan dari utara melalui jalan Ujung Pandang. Beberapa mobil dengan
plat nomor luar propinsi Sumbar terlihat ikut mengambil posisi parkir menghadap
ke masjid godang. Ini memang termasuk masjid persinggahan favorit bagi para
pengelana dan perantau yang pulang kampung.
Azan Magrib berkumandang dari
Toa, delapan buah pengeras suara yang dipasang di ruang antar tingkat dua dan
tingkat dua atap. Aap yang menjulang itu sekaligus berfungsi sebagai menara.
Masjid ini memang tidak mempunyai menara.
Suasana ramai tapi syahdu. Mengingatkan
semangat kebangkitan Islam di masyarakat adat, pasca-Perang Paderi. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar