Minggu, 22 Februari 2015

Warga Bukik Cangang Bukittinggi Paksa Bubar Pertemuan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan ‘65

Jagaku—Dituding terkait dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30 S PKI), sekitar seratusan warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang Kecamatan Guguak Panjang Kota Bukittinggi membubarkan paksa kegiatan Diskusi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 di rumah kediaman Ketua YPKP Sumbar di kawasan Bukik Cangang Bukittinggi, Minggu (22/2/2015).

Kecurigaan warga ini didasari hadirnya Ketua YPKP Bedjo Untung, yang diduga adalah anak dari Letkol Untung, Pimpinan Dewan Revolusi PKI. Padahal pihak YPKP telah menyebutkan bahwa Bedjo Untung tidak ada hubungan keluarga dengan Letkol Untung. Meski demikian, warga tidak mempercayainya begitu saja.
Dalam jadwalnya, kegiatan tersebut akan dimulai pada pukul 10.00 WIB dan akan dikuti lebih dari seratus peserta korban kejahatan 65-66 dari berbagai daerah di Sumbar. Namun sekitar pukul 09.00 WIB para peserta telah mulai berdatangan.
Seperti dilansir http://www.rri.co.id/, hingga pukul 10.00 WIB peserta yang hadir berjumlah sekitar 100 orang. Kegiatan tersebut belum bisa dimulai, karena belum ada narasumber yang datang.
Sementara itu, warga Bukik Cangang yang telah mengetahui rencana kegiatan tersebut semenjak Sabtu (21/2/2015) malam kemaren, juga telah melakukan persiapan matang untuk menggagalkan acara tersebut.
Sebelum kegiatan dimulai pada Minggu pagi, kerumunan warga mulai memasuki lokasi acara, baik di dalam rumah, maupun di kafe terbuka yang merupakan bagian tempat acara.
Secara paksa, warga mengusir peserta yang telah hadir di lokasi. Bahkan peserta yang akan masuk ke lokasi kegiatan juga dihadang dan diusir pergi. Peserta yang didominasi oleh orang lanjut usia itu hanya tampak pasrah ketika diusir oleh warga sekitar. Bahkan pengacara Komisi Pemberatantasan Korupsi (KPK), Nusyahbani, juga sempat diusir warga ketika tiba di lokasi kegiatan.
Terkait kegiatan diskusi ini, pengacara KPK Nusyahbani menilai, kegiatan tersebut merupakan hak masyarakat untuk berkumpul dan mendiskusikan mengenai kondisi dirinya dalam rangka minta penjelasan kepada lembaga resmi seperti Komnas Perempuan dan LPSK dan lembaga negara lainnya.
“Komnas Perempuan dan LPSK yang diundang dalam kegiatan itu sedang menunaikan tugas negara, bukan provokasi atau apa. Kalau Semendawai (Ketua LPSK) tidak bisa melaksanakan tugas-tugas sebagaimana yang dibebankan undang-undang, dia akan diminta pertanggungjawabkannya di Komisi III, karena anggarannya kan dari Komisi III. Setiap tiga bulan sekali itu harus dipertanggungjawabkan,” ungkap Nusyahbani.
Nusyahbani juga mengaku merasa aneh dengan sikap pihak keamanan kepolisian, yang dinilai tidak bisa menciptakan siatuasi yang kondusif. Menurutnya aparat negara dalam lembaga negara seperti LPSK dan Komnas Perempuan tidak bisa menjalankan tugas yang dibebankan oleh undang-undang, akibat dari sikap aparat keamanan itu.
“Terkait kejadian ini, saya sendiri akan menulis kronologinya, kemudian melaporkannya ke Mabes Polri dan cc kepada bapak Jokowi. Inikan terkait dengan aparat kepolisian disini yang tidak perform sebagai aparat keamanan, yang seharusnya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan seperti yang tadi dilakukan,” tutur Nusyahbani.
Nusyahbani menjelaskan, memang tidak ada kekerasan fisik dalam kejadian itu, namun pengusiran warga ditambah sikap aparat kepolisian itu menurutnya bisa dikategorikan sebagai kekerasan verbal.
“Undang-undang kita mengenali itu kekerasan verbal, bukan hanya kekerasan fisik saja. Saya diundang sebagai pembicara, yang biasanya saya menjelaskan mengenai hak-hak mereka itu. Saya sekarang Ketua Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan juga Koordinator Nasional LBH APIK se-Indonesia, yang memberikan bantuan hukum, menjelaskan hak dan hukum mereka, apa yang bisa lembaga hukum yang saya pimpin itu memberikan bantuan kepada mereka kalau negara tidak menjalankan kewajibannya kepada para korban,” terang Nusyahbani.
Terkait kejadian ini, Kapolres Bukittinggi AKBP Amirjan menjelaskan, pihaknya mendatangi lokasi kejadian setelah mendapat informasi dari warga setempat atas kejadian tersebut. Menurutnya, dalam hal ini kepolisian hanya melakukan tindakan responsif untuk menghindari terjadinya gesekan antar dua pihak.
“Tidak ada yang ditangkap dalam kejadian ini. Kami hanya mengamankan situasi dan kondisi. Pengusiran yang dilakukan warga ini, karena warga dan tokoh masyarakat setempat tidak menerima kegiatan tersebut dilakukan di daerah mereka. Daripada anarkis dan kami tidak mau ambil risiko, makanya kami melakukan tindakan persuasif,” jelas Kapolres.
Terkait izin kegiatan, Kapolres Amirjan menegaskan, belum ada pengajuan izin yang dilakukan pelaksana kegiatan, sehingga Polres Bukittinggi tidak pernah mengeluarkan surat izin kegiatan tersebut. (SSC)
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 Pusat yang berencana melakukan pertemuan di rumah Ketua YPKP 65 Sumatera Barat Nadiani pada Minggu (22/2/2015) siang sekitar pukul 10.30 WIB batal terlaksana karena adanya pengusiran paksa oleh warga Kelurahan Bukik Cangang, Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.  
Akibatnya, beberapa anggota YPKP Pusat bersama Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta pengacara YPKP Nursyahbani Katjasungkana yang juga pengacara Bambang Wijayanto tidak sempat turun dari mobilnya, karena langsung diusir oleh warga Bukik Cangang.  
Nursyahbani Katjasungkana, pengacara YPKP, mengatakan, kegiatan ini merupakan tugas negara dan bukan memprovokasi terjadinya hal yang tidak diinginkan. Dirinya pun menyayangkan tindakan polisi yang tidak bisa menciptakan situasi yang kondusif sehingga lembaga negara seperti LPSK dan Komnas HAM tidak bisa menjalankan tugasnya. 
“Kita di sini kan sedang menunaikan tugas negara, bukan memprovokasi atau semacamnya. Kita kan nanti akan diminta pertanggung jawabannya di Komisi III DPR RI, karena rencana dan anggaran kegiatan telah direalisasikan DPR RI, sehingga harus dipertanggung jawabkan sekali tiga bulan,” kata Nursyahbani Katjasungkana seperti dilansir http://www.rri.co.id/, Mingg (22/2/2015).  
Terkait soal kepolisian yang tidak bisa menciptakan kondisi yang kondusif, dirinya menegaskan  akan melaporkannya ke Mabes Polri dan Presiden Jokowi.  
“Aparat kepolisian di sini tidak perform sebagai aparat keamanan yang seharusnya memberikan perlindungan dari masyarakat yang melakukan kekerasan, meskipun bukan kekerasan fisik namun sudah melakukan kekerasan verbal. Undang-undang kita kan mengenali kekerasan itu, bukan hanya kekerasan fisik saja,” ungkapnya.  
Nursyahbani yang juga Ketua Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menambahkan, dirinya diundang dalam kegiatan tersebut sebagai pembicara tentang hak-hak para korban.   
“Saya kesini kan ingin memberikan bantuan hukum kepada para korban jika Negara tidak memberikan  hak-hak mereka,” ungkap  wanita yang mengaku sejak tahun 80 an ini menggeluti persoalan korban 65 ini.  
Yunianti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan,  sangat menyayangkan kejadian itu mengingat warga Bukittinggi ataupun Sumatera Barat selama ini dikenal sebagai dapur yang melahirkan para pendiri negara Indonesia dan dapurnya para ulama dan sebagai daerah yang aman dan damai di Indonesia.  
“Pada saat ini saya merasakan ketidak amanan terlahir di Bukittinggi yang menjadi daerah teraman di Indonesia dan pernah lahir para pemikir bangsa dari sini,” ujarnya.
Sementara itu Yonaldi, tokoh pemuda setempat yang ikut dalam aksi tersebut mengatakan bahwa penolakan tersebut karena tidak sesuai dengan aturan dan undang-undang yang ada.  
“Ini kehendak  dari masyarakat yang menolak terjadinya perkumpulan pada hari ini karena katanya ada indikasi hadirnya Bejo Untung, Ketua YPKP 65 Pusat,” jelasnya.  
“Aksi ini dipicu oleh kecemasan  warga yang takut dengan desas- desus terjadinya kemunculan ideologi PKI di tengah masyarakat pada pertemuan tersebut.”   
Sementara itu, Camat Guguk Panjang, Nofrianto CH mengatakan bahwa aksi penolakan warga terhadap pertemuan tersebut karena tidak  adanya izin akan adanya pertemuan di rumah tersebut.  
“Jadi warga dapat informasi bahwa akan ada pertemuan dirumah tersebut, sementara itu izinnya tak ada, baik kepada pihak RT, RW, Kelurahan bahkan Kecamatan tidak ada. Makanya timbul pertanyaan dari warga pertemuan apa itu? Dan kenyataannya terjadilah hal tersebut," ungkapnya.  
Kasat Sabhara Polres Bukittinggi, AKP Yandrianus Chania mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pengamanan sesuai dengan prosedur.   
“Untuk menghindari hal yang tak diinginkan,  makanya kita lakukan pengamanan, karena mereka kan dari lembaga negara,” tukasnya.   
Baja Suseno, Wakil Ketua YPKP pusat mengatakan, organisasi ini telah memiliki seribuan anggota diseluruh Indonesia. YPKP juga bertujuan dan memiliki visi/misi dalam mencerdaskan, meneliti, mendata korban pembunuhan tahun 1965/1966 dan menuntut hak korban yang telah dirampas selama ini.  
“Salah satunya korban yang ditahan tanpa proses hukum dan setelah bebas tidak ditemukan bukti dari kesalan mereka,” terangnya.  
Bejo Suseno menambahkan, kegiatan ini telah dilaksanakan sebanyak empat kali dan ini dilaksanakan di Bukittinggi, namun baru kali ini pertemuan yang akan dilaksanakan mengalami hambatan dan didemo masyarakat Bukittinggi.  

“Pertemuan sebelumnya kita laksanakan di aula RRI dan kali ini kita laksanakan di rumah, karena gedung RRI telah dipakai oleh organisasi lain,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar