Jagaku—Dituding terkait
dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30 S PKI), sekitar
seratusan warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang Kecamatan Guguak Panjang
Kota Bukittinggi membubarkan paksa kegiatan Diskusi Yayasan Penelitian Korban
Pembunuhan (YPKP) 65 di rumah kediaman Ketua YPKP Sumbar di kawasan Bukik
Cangang Bukittinggi, Minggu (22/2/2015).
Kecurigaan warga ini didasari hadirnya Ketua YPKP Bedjo
Untung, yang diduga adalah anak dari Letkol Untung, Pimpinan Dewan Revolusi PKI.
Padahal pihak YPKP telah menyebutkan bahwa Bedjo Untung tidak ada hubungan
keluarga dengan Letkol Untung. Meski demikian, warga tidak mempercayainya
begitu saja.
Dalam jadwalnya, kegiatan tersebut akan dimulai pada
pukul 10.00 WIB dan akan dikuti lebih dari seratus peserta korban kejahatan
65-66 dari berbagai daerah di Sumbar. Namun sekitar pukul 09.00 WIB para
peserta telah mulai berdatangan.
Seperti dilansir http://www.rri.co.id/,
hingga pukul 10.00 WIB peserta yang hadir berjumlah sekitar 100 orang. Kegiatan
tersebut belum bisa dimulai, karena belum ada narasumber yang datang.
Sementara itu, warga Bukik Cangang yang telah
mengetahui rencana kegiatan tersebut semenjak Sabtu (21/2/2015) malam kemaren,
juga telah melakukan persiapan matang untuk menggagalkan acara tersebut.
Sebelum kegiatan dimulai pada Minggu pagi, kerumunan
warga mulai memasuki lokasi acara, baik di dalam rumah, maupun di kafe terbuka
yang merupakan bagian tempat acara.
Secara paksa, warga mengusir peserta yang telah hadir
di lokasi. Bahkan peserta yang akan masuk ke lokasi kegiatan juga dihadang dan
diusir pergi. Peserta yang didominasi oleh orang lanjut usia itu hanya tampak
pasrah ketika diusir oleh warga sekitar. Bahkan pengacara Komisi
Pemberatantasan Korupsi (KPK), Nusyahbani, juga sempat diusir warga ketika tiba
di lokasi kegiatan.
Terkait kegiatan diskusi ini, pengacara KPK Nusyahbani
menilai, kegiatan tersebut merupakan hak masyarakat untuk berkumpul dan
mendiskusikan mengenai kondisi dirinya dalam rangka minta penjelasan kepada
lembaga resmi seperti Komnas Perempuan dan LPSK dan lembaga negara lainnya.
“Komnas Perempuan dan LPSK yang diundang dalam kegiatan
itu sedang menunaikan tugas negara, bukan provokasi atau apa. Kalau Semendawai
(Ketua LPSK) tidak bisa melaksanakan tugas-tugas sebagaimana yang dibebankan undang-undang,
dia akan diminta pertanggungjawabkannya di Komisi III, karena anggarannya kan
dari Komisi III. Setiap tiga bulan sekali itu harus dipertanggungjawabkan,”
ungkap Nusyahbani.
Nusyahbani juga mengaku merasa aneh dengan sikap pihak
keamanan kepolisian, yang dinilai tidak bisa menciptakan siatuasi yang
kondusif. Menurutnya aparat negara dalam lembaga negara seperti LPSK dan Komnas
Perempuan tidak bisa menjalankan tugas yang dibebankan oleh undang-undang,
akibat dari sikap aparat keamanan itu.
“Terkait kejadian ini, saya sendiri akan menulis
kronologinya, kemudian melaporkannya ke Mabes Polri dan cc kepada bapak Jokowi.
Inikan terkait dengan aparat kepolisian disini yang tidak perform sebagai
aparat keamanan, yang seharusnya memberikan perlindungan kepada masyarakat dari
tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan seperti yang tadi dilakukan,” tutur
Nusyahbani.
Nusyahbani menjelaskan, memang tidak ada kekerasan
fisik dalam kejadian itu, namun pengusiran warga ditambah sikap aparat
kepolisian itu menurutnya bisa dikategorikan sebagai kekerasan verbal.
“Undang-undang kita mengenali itu kekerasan verbal,
bukan hanya kekerasan fisik saja. Saya diundang sebagai pembicara, yang
biasanya saya menjelaskan mengenai hak-hak mereka itu. Saya sekarang Ketua
Pembina Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan juga Koordinator Nasional LBH
APIK se-Indonesia, yang memberikan bantuan hukum, menjelaskan hak dan hukum
mereka, apa yang bisa lembaga hukum yang saya pimpin itu memberikan bantuan
kepada mereka kalau negara tidak menjalankan kewajibannya kepada para korban,”
terang Nusyahbani.
Terkait kejadian ini, Kapolres Bukittinggi AKBP Amirjan
menjelaskan, pihaknya mendatangi lokasi kejadian setelah mendapat informasi
dari warga setempat atas kejadian tersebut. Menurutnya, dalam hal ini
kepolisian hanya melakukan tindakan responsif untuk menghindari terjadinya
gesekan antar dua pihak.
“Tidak ada yang ditangkap dalam kejadian ini. Kami
hanya mengamankan situasi dan kondisi. Pengusiran yang dilakukan warga ini,
karena warga dan tokoh masyarakat setempat tidak menerima kegiatan tersebut
dilakukan di daerah mereka. Daripada anarkis dan kami tidak mau ambil risiko,
makanya kami melakukan tindakan persuasif,” jelas Kapolres.
Terkait izin kegiatan, Kapolres Amirjan menegaskan,
belum ada pengajuan izin yang dilakukan pelaksana kegiatan, sehingga Polres
Bukittinggi tidak pernah mengeluarkan surat izin kegiatan tersebut. (SSC)
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 Pusat
yang berencana melakukan pertemuan di rumah Ketua YPKP 65 Sumatera Barat
Nadiani pada Minggu (22/2/2015) siang sekitar pukul 10.30 WIB batal terlaksana
karena adanya pengusiran paksa oleh warga Kelurahan Bukik Cangang, Kayu Ramang,
Kecamatan Guguak Panjang, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Akibatnya, beberapa anggota YPKP Pusat bersama Komnas
HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta
pengacara YPKP Nursyahbani Katjasungkana yang juga pengacara Bambang Wijayanto
tidak sempat turun dari mobilnya, karena langsung diusir oleh warga Bukik
Cangang.
Nursyahbani Katjasungkana, pengacara YPKP, mengatakan,
kegiatan ini merupakan tugas negara dan bukan memprovokasi terjadinya hal yang
tidak diinginkan. Dirinya pun menyayangkan tindakan polisi yang tidak bisa
menciptakan situasi yang kondusif sehingga lembaga negara seperti LPSK dan
Komnas HAM tidak bisa menjalankan tugasnya.
“Kita di sini kan sedang menunaikan tugas negara, bukan
memprovokasi atau semacamnya. Kita kan nanti akan diminta pertanggung
jawabannya di Komisi III DPR RI, karena rencana dan anggaran kegiatan telah
direalisasikan DPR RI, sehingga harus dipertanggung jawabkan sekali tiga
bulan,” kata Nursyahbani Katjasungkana seperti dilansir http://www.rri.co.id/, Mingg (22/2/2015).
Terkait soal kepolisian yang tidak bisa menciptakan
kondisi yang kondusif, dirinya menegaskan
akan melaporkannya ke Mabes Polri dan Presiden Jokowi.
“Aparat kepolisian di sini tidak perform sebagai aparat keamanan yang seharusnya memberikan
perlindungan dari masyarakat yang melakukan kekerasan, meskipun bukan kekerasan
fisik namun sudah melakukan kekerasan verbal. Undang-undang kita kan mengenali
kekerasan itu, bukan hanya kekerasan fisik saja,” ungkapnya.
Nursyahbani yang juga Ketua Pembina Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia menambahkan, dirinya diundang dalam kegiatan tersebut
sebagai pembicara tentang hak-hak para korban.
“Saya kesini kan ingin memberikan bantuan hukum kepada
para korban jika Negara tidak memberikan
hak-hak mereka,” ungkap wanita
yang mengaku sejak tahun 80 an ini menggeluti persoalan korban 65 ini.
Yunianti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan, sangat menyayangkan kejadian itu mengingat
warga Bukittinggi ataupun Sumatera Barat selama ini dikenal sebagai dapur yang
melahirkan para pendiri negara Indonesia dan dapurnya para ulama dan sebagai
daerah yang aman dan damai di Indonesia.
“Pada saat ini saya merasakan ketidak amanan terlahir
di Bukittinggi yang menjadi daerah teraman di Indonesia dan pernah lahir para
pemikir bangsa dari sini,” ujarnya.
Sementara itu Yonaldi, tokoh pemuda setempat yang ikut
dalam aksi tersebut mengatakan bahwa penolakan tersebut karena tidak sesuai
dengan aturan dan undang-undang yang ada.
“Ini kehendak
dari masyarakat yang menolak terjadinya perkumpulan pada hari ini karena
katanya ada indikasi hadirnya Bejo Untung, Ketua YPKP 65 Pusat,” jelasnya.
“Aksi ini dipicu oleh kecemasan warga yang takut dengan desas- desus
terjadinya kemunculan ideologi PKI di tengah masyarakat pada pertemuan
tersebut.”
Sementara itu, Camat Guguk Panjang, Nofrianto CH
mengatakan bahwa aksi penolakan warga terhadap pertemuan tersebut karena
tidak adanya izin akan adanya pertemuan
di rumah tersebut.
“Jadi warga dapat informasi bahwa akan ada pertemuan
dirumah tersebut, sementara itu izinnya tak ada, baik kepada pihak RT, RW,
Kelurahan bahkan Kecamatan tidak ada. Makanya timbul pertanyaan dari warga
pertemuan apa itu? Dan kenyataannya terjadilah hal tersebut,"
ungkapnya.
Kasat Sabhara Polres Bukittinggi, AKP Yandrianus Chania
mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pengamanan sesuai dengan
prosedur.
“Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, makanya kita lakukan pengamanan, karena
mereka kan dari lembaga negara,” tukasnya.
Baja Suseno, Wakil Ketua YPKP pusat mengatakan,
organisasi ini telah memiliki seribuan anggota diseluruh Indonesia. YPKP juga
bertujuan dan memiliki visi/misi dalam mencerdaskan, meneliti, mendata korban
pembunuhan tahun 1965/1966 dan menuntut hak korban yang telah dirampas selama
ini.
“Salah satunya korban yang ditahan tanpa proses hukum
dan setelah bebas tidak ditemukan bukti dari kesalan mereka,” terangnya.
Bejo Suseno menambahkan, kegiatan ini telah
dilaksanakan sebanyak empat kali dan ini dilaksanakan di Bukittinggi, namun
baru kali ini pertemuan yang akan dilaksanakan mengalami hambatan dan didemo
masyarakat Bukittinggi.
“Pertemuan sebelumnya kita laksanakan di aula RRI dan
kali ini kita laksanakan di rumah, karena gedung RRI telah dipakai oleh
organisasi lain,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar