Minggu, 22 Februari 2015

KontraS Kecam Pembubaran Tindakan Warga Bukittinggi

Jagaku—Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pembubaran paksa terhadap acara temu korban pelanggaran HAM di Bukittinggi, Sumatera Barat, Minggu (22/2/2015).
Acara yang dihadiri para korban 65/66 tersebut dibubarkan secara paksa oleh ratusan warga Kelurahan Bukik Cangang Kayu Ramang, Kota Bukittinggi pada pukul 10:30 WIB. Sementara itu aparat dari TNI dan Polres Bukittinggi tidak terlihat berupaya mengamankan warga.

Koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan, acara temu korban 65/66 sekaligus juga perayaan ulang tahun ke-15 YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966) Sumatera Barat. Namun ketika acara belum berlangsung sudah dibubarkan ratusan massa dan aparat. Padahal acara yang dihadiri oleh perwakilan KontraS, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK tersebut untuk mengadakan pertemuan dengan para korban 65/66.
Akibat dari pembubaran paksa tersebut menyebabkan lebih dari 200 korban 65/66 yang hadir dalam acara tersebut mengalami intimidasi dan kekerasan berupa ancaman, makian/hinaan, serta pemaksaan keluar dari lokasi dengan cara didorong atau ditarik secara paksa oleh warga.
"Akibat aksi tersebut, beberapa korban yang berusia antara 65-90 tahun mengalami shock dan pingsan di tempat," ujar Haris Azhar dalam pesan tertulisnya, Minggu (22/2/2015) malam seperti dilansir http://harianterbit.com/.
Menurut Haris, dalam kurun waktu satu (1) tahun ke belakang, setidaknya KontraS mencatat telah terjadi tiga kali pembubaran paksa yang disertai intimidasi dan penyerangan kepada korban pelanggaran HAM berat 1965/1966, yakni pembubaran temu korban 65/66 di Semarang, Jawa Tengah pada 16 Februari 2014 oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI).
Selain itu ada juga pembubaran pemutaran film Senyap masing-masing di dua lokasi di Malang dan Yogyakarta (Sekretariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Warung Kelir, Kota Malang, Jawa Timur, serta pembuaran acara yang digelar di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada) pada Desember 2014.
"Pembubaran paksa yang disertai dengan keterlibatan dan pembiaran oleh aparat, jelas melanggar UUD 1945 Pasal 28 E Ayat 3 dan 28 F tentang hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat," jelas Haris.
Haris menilai, terjadinya keberulangan jelas menunjukkan pemerintah belum berhasil menjaga hak-hak sipil warga negaranya, yang dalam hal ini adalah korban dan keluarga korban 1965/1966, serta khalayak yang memiliki empati terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Terlebih, keberulangan tindakan serupa di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, menegaskan bahwasanya komitmen negara dalam menjamin terpenuhinya hak warga negara, dalam hal ini adalah korban pelanggaran HAM berat, serta janji yang tertuang dalam  visi-misi Jokowi-JK sama sekali belum terimplementasikan.

"Kami meminta agar Polisi menindak tegas pelaku pembubaran paksa diatas," tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar