Surau Tingga, Surau Pondom Syekh Datuak Tan Nan Godang |
Di Sumatera Barat, jika malam tiba, tak ada lagi kerlap kerlip lentera di antara pohon pisang. Suara canda pulang mengaji pun telah lama lenyap, bersamaan dengan menjauhnya masyarakat dari surau, tempat ilmu agama ditimba. “Surau adalah nostalgia,” kata sejumlah orang yang berhasil ditemui Republika.
Benarkah demikian? “Tidak, surau sampai sekarang tetap ada,
kunjungilah nagari-nagari di Sumatera Barat, misalnya, di Pariaman,” kata Buya
Bagindo Muhammad Letter, 61 tahun, seorang ulama dan tokoh masyarakat di
Sumatera Barat. Buya yang kini menghabiskan 20 hari sebulan untuk surau di
Minangkabau kian berkurang. Tapi, menurutnya, semangat surau tetap terpelihara
dengan baik.
Surau katanya, merupakan sebuah lembaga tua. Mungkin sebelum
Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-13 sudah ada. “Tapi barangkali waktu
itu namanya bukan surau,” katanya. Surau adalah kas Minangkabau yang
penduduknya pemeluk Islam dan berpedoman pada mazhab Syafi’i.
“Mazhab lain tak mengenal surau. Muhammadiyah, misalnya,
mengenal musala,” katanya.
Selain merupakan tempat untuk mendalami ajaran adat, surau
terutama berperan sebagai tempat belajar agama. Segenap aktivitas keagamaan
dipusatkan di surau. Jadi, menurut Buya Letter, tidak perlu heran jika salat
lima waktu dilaksanakan di surau, bukan di masjid.
“Sampai sekarang, di Pariaman masjid hanya untuk salat Jumat,”
katanya. Bahkan pada malam-malam bulan suci Ramadhan salat tarawih dan witir
yang biasanya dilakukan 23 rakaat dilaksanakan di surau, tidak di masjid.
Belakangan, garis keturunan menurut garis ibu, maka harta pusaka dimiliki
wanita. Lelaki dengan demi-kian, tak punya apa-apa. Di atas segalanya, lelaki
Minang santun kepada wanita, terutama wanita dari kaumnya. Adalah aib bagi
seorang laki-laki tidur di rumah, sementara di rumah yang sama saudara wanita
juga tidur.
“Padahal tiap kita akan punya kamar tidur, tapi tetap saja
malu,” katanya. Karena itu, bagi lelaki Minangkabau, surau menjadi rumah kedua.
Yang tidur di surau mulai dari remaja hingga orang tua. Bahkan termasuk para
duda.
Karena itu pula merupakan kewajaran jika di surau bisa
dilakukan banyak kegiatan. Surau punya andil yang besar dalam mendidik lelaki
Minang bersilat lidah sebagai hal yang terpenting dalam menumbuhkan jiwa
demokratis.
Demikian besarnya arti surau hingga perhatian pada lembaga
tersebut tak diragukan lagi. “Dulu, tiap rumah memberikan sumbangan pada
surau,” sebutnya.
Tapi kini, seperti diamati Buya, surau kalah dibanding musala,
kendati di beberapa daerah lembaga tersebut tetap eksis. “Persoalannya
tergantung pada guru dan pada kaumnya,” katanya lagi.
Menjadi Musala
Lain Buya Letter, lain lagi Drs Hawari Siddik. Menurut,
budayawan yang sekaligus birokrat ini, surau sudah lama meninggalkan
Minangkabau. “Kecuali di sejumlah nagari, mungkin masih ada surau dalam bentuk
yang asli,” kata Asisten III Setwida tingkat I Sumatera Barat ini.
“Saya tidak lagi berjumpa dengan surau,” katanya. Usianya
sudah 54 tahun dan ia mengaku belajar mengaji bukan di surau, melainkan di
madrasah. Hawari sendiri berasal dari Birugo, Bukittinggi, sebuah kota yang
berkembang jauh sebelum awal abad ini. Namun ia juga mengaku masih menjumpai
orang-orang-orang seusianya yang pernah belajar di surau, tapi mereka
kebanyakan tinggal di kampung-kampung.
Menurut Hawari, bekas-bekas surau yang ia temukan antara lain
di Balimbiang, sebuah nagari tua di Kabupaten Tanah Datar. Ia memperkirakan dua
generasi yang silam surau dalam artian yang sesungguhnya sudah habis. Ini
disebabkan oleh pengaruh luar yang punya andil merombak beberapa struktur di
Minangkabau.
“Saya pernah melihat surau di sebuah nagari. Surau itu milik
sebuah suku dengan 8 rumah satu nenek. Mereka punya satu surau, tapi kini surau
itu telah berubah menjadi rumah,” paparnya. Waktu itu, fungsinya, untuk tempat
belajar adat dan agama khusus untuk kaumnya.
Kini, surau tersebut sudah beralih menjadi musala. Inilah yang
menurut Hawari menjadi sebuah persoalan.
Bagi Hawari surau punya ikatan yang erat dengan sistem garis
keturunan. “Di Minang ada rumah gadang milik kaum. Di rumah ini untuk
berkomunikasi agak sulit, kurang lempang, sebab ada beberapa keluarga yang
terdiri dari lelaki dan wanita tinggal bersama-sama di rumah besar tersebut.”
Meski garis keturunan menurut ibu dan harta pusaka dimiliki
kaum wanita, tapi kendali adat ada di tangan laki-laki. Padahal, laki-laki di rumah
gadang tidak memiliki posisi. “Rumah bukan milik laki-laki, jadi wajar
mereka memilih surau.”
Dengan demikian, surau berfungsi sebagai tempat berdialog
antara mamak (paman) dengan kemenakannya. Di surau pula mamak menuturkan dan
mengajarkan ilmu adat kepada kemenakan lelakinya. Maka tak heran jika lunturnya
tradisi surau dikhawatirkan akan berujung pada memudarnya ikatan kekerabatan
yang khas Minangkabau. Termasuk terkikisnya pengetahuan tentang adat yang
selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Minang. Surau, demikian Hawari,
basisnya adalah adat.
Sebaliknya, Buya Letter menilai, jika pengetahuan adat memudar
maka masyarakat akan kian renggang dengan surau. “Orang yang tahu adat, pasti
tahu ajaran agama,” katanya.
Dalam kenyataan sekarang, Minangkabau sesungguh-nya tak lagi
peduli dengan surau. Anak-anak belajar mengaji di musala atau di taman pendidikan Alquran. Selain itu,
seperti dikatakan Buya Letter dan Hawari, pekerjaan sebagai guru mengaji
sekarang—karena tuntutan yang wajar—selalu dikaitkan dengan sumber nafkah.
Padahal dulu mengajar anak mengaji dilandasi oleh keinginan untuk memberikan
sesuatu kepada orang lain.
Jika orang seperti Hawari Siddik tak lagi menemukan surau
semua kecilnya, lalu bagaimana generasi sekarang?
“Rumah harus menjadi basis yang kuat bagi anak-anak untuk
mendapatkan pelajaran agama,” kata Letter.
Untuk sebagian soal, jawaban tersebut cukup memuaskan. Tapi
persoalan lainnya, yakni pelestarian adat, masih harus dicari solusinya.
Preman “Cap Gajah”
Pun Mengaji di Surau
Surau adalah lembaga multifungsi. Tak ada desa yang tidak
memilikinya. Dan malah di satu desa bisa didapat sampai 10 surau. Tapi sejarah
tak selamanya linier. Seiring dengan perjalanan waktu yang mengiringinya, surau
kian langka. Berikut komentar Haji Kamardi Rais Datuk P Simulie, 63 tahun,
seorang pemuka adat dan agama, tokoh masyarakat, mantan Ketua PWI Sumatera
Barat yang kini jadi anggota DPRD
Sumatere Barat.
Jika memang surau kita sudah roboh, yang bertugas
mendirikannya kembali adalah generasi muda Minangkabau. Kami yang tua-tua hanya
bisa mendorong dari belakang. Tanpa surau, generasi sekarang akan sangat
merugi.
“Waktu saya kecil surau adalah tempat belajar, sekaligus
tempat bermain. Surau adalah lembaga di mana seseorang ditempa untuk menjadi
dewasa. Orang yang ke surau pastilah tahu agama, tahu adat, tahu
persoalan-persoalan sosial.”
Surau memiliki fungsi yang banyak. Antara lain, sebagai
musala, tempat salat, tempat mengaji, mulai dari mengenal huruf Alquran alif –
ba – ta, sampai khatam 30 juz.
Mengaji di surau juga dimaksudkan untuk melatih anak-anak
untuk menjadi qori dan qoriah yang menguasai tajwidnya. Adalah aib kalau ada
anak Minang yang buta huruf Alquran. Dan sangatlah malu jika ada keluarga yang
meninggal, apalagi orangtua, sebagai anak, kita tak bisa membacakan ayat suci
untuknya.
Betapapun ia seorang parewa (preman), ia pasti bisa
mengaji. Seorang “preman cap gajah” atau “preman taluak” sekalipun, harus bisa.
Dulu ada kain plakat cap gajah yang dianggap nomor wahid. Kainnya kuat, liat,
dan kokoh. Meski warna dan raginya sudah lusuh, namun kainnya tetap utuh, tak
robek. Lalu preman kelas wahid tadi dijuluki “preman cap gajah”. Tentang
‘preman taluak’ saya lupa asal katanya. Pokoknya, premanpun pandai mengaji.
Sebab di surau, usai mengaji makna, tafsir dan perukunan, seperti rukun salat,
Islam, dan iman.
Fungsi lain surau pun banyak sekali. Misalnya, sekali
seminggu, tiap petang Kamis malam Jumat atau Sabtu malam di surau hadir orang
tua-tua, inyiak (kakek), datuak, mamak. Mereka bercerita tentang adat,
silsilah keturunan, asal-usul, tambo, gurindam adat, petatah-petitih,
bersilat lidah, ajaran etika dan budi.
Lalu pada bulan terang (10-15 bulan Qomariah) atau Ahad
paginya, dilakukan latihan fisik bela diri silat, seperti silat Lintau,
Kumango, Piaman, Pangian, dan silat lainnya. Pokoknya, anak-anak Minang di
samping dididik di sekolah, dididik pula di surau, dengan harapan kelak ia
tidak canggung menggapai kehidupan ini. Tidak gamang hendak tinggal di mana, di
kampung atau di rantau.
Bak pepatah Minang, “Terdesak puting ke hulu, terdesak ikan ke
empang”. Anak Minang tak boleh hilang akal. Misalnya, terdesak hidup, kalau tak
bekerja tidak makan. Lalu orang menyuruh kita untuk membacakan sepotong doa.
Maka preman sekalipun, ia pasti bisa berdoa. Disuruh jadi imam, ia bisa.
Selain itu, surau juga berfungsi sebagai tempat musyawarah,
misalnya, membicarakan tentang turun ke sawah, gotong- royong, dan lain-lain.
Kata surau, konon berasal dari kata Arab syura. Artinya, bermusyawarah. Musyawirhum
fil amri, bermusyawarahlah setiap kali pekerjaan akan dilakukan. Waamruhum
syura bainahum, dan pekerjaan dimusyawarahkan terlebih dahulu di antara
mereka.
Yang terakhir, fungsi surau sebagai rumah kedua. Tempat tidur
kaum lelaki, terutama bujang atau orang tua yang menduda. Di surau mereka
berselimut kain panjang dan tikar.
Bisa jadi orang bilang, inilah sebuah tragedi lelaki Minang.
Sebab sekaya apapun ia, kalau sudah duda, maka tidurnya di surau. Sebab tidur
di rumah sendiri sangatlah malu, sebab di sana juga berdiam famili wanitanya.
Tapi, seperti badak, surau kini sudah langka, makanya perlu
dilindungi dan dilestarikan. Dulu, tiap suku punya surau, misalnya surau Bodi,
Caniago, Koto, Bendang, Piliang, dan lainnya. Sekarang mana ada.
“Saya banyak menemukan surau tua yang lapuk, kosong, dan
roboh. Begitulah kondisinya sekarang. Saya setuju sekali jika surau dibangun
kembali. Tapi apakah generasi muda mau untuk itu? Kalian ‘kan sibuk memikirkan
karir, yang lain sibuk mencari lapangan kerja, studi, nagari ditinggalkan,
sehingga menjadi sepi.”
“Padahal tak ada lembaga seefektif dan sebaik surau untuk
pendidikan anak-anak. Di sana bekal hidup di dunia dan di akhirat bisa didapat.
Tapi, saya sadar, nilai-nilai kini sudah bergeser,” terangnya.
“Apakah masih ada orang tua yang mau melepaskan anaknya
belajar ke surau. Si anak membawa selimut, lalu tidur bersama di surau.
Pagi-pagi siap pula berangkat sekolah. Adakah guru atau bapak asrama yang jadi
pimpinan di surau? Dulu, mereka tak digaji. Untuk hidup, siang pergi ke sawah
atau ladang. Sekarang saya kira tak bisa begitu.”
Kamardi menambahkan, dulu, semasa dia kanak-kanak, semua
mendorongnya untuk ke surau.
“Tak ada hal-hal yang bisa menghambat atau membuat saya malas
ke surau. Habis makan sore, berangkat ke surau. Sekarang, waktu anak-anak
disita televisi. “Kotak ajaib” itu menayangkan aneka film yang disukai
anak-anak. Mereka bergerombol nonton silat, kungfu, bahkan sampai film
romantis. Jadi ini satu persoalan. Hal lain, anak-anak kini mengaji di TPA,
sore, bukan malam. Jiwa surau sudah hilang,” katanya. (KJ)
Harian Republika, Padang, 8 November 1996
Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam
Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita
Padang, Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar