Minggu, 17 Maret 2024

Surau, Adat, dan Agama

Surau Tingga, Surau Pondom Syekh Datuak Tan Nan Godang

 Di Sumatera Barat, jika malam tiba, tak ada lagi kerlap kerlip lentera di antara pohon pisang. Suara canda pulang mengaji pun telah lama lenyap, bersamaan dengan menjauhnya masyarakat dari surau, tempat ilmu agama ditimba. “Surau adalah nostalgia,” kata sejumlah orang yang berhasil ditemui Republika.

Benarkah demikian? “Tidak, surau sampai sekarang tetap ada, kunjungilah nagari-nagari di Sumatera Barat, misalnya, di Pariaman,” kata Buya Bagindo Muhammad Letter, 61 tahun, seorang ulama dan tokoh masyarakat di Sumatera Barat. Buya yang kini menghabiskan 20 hari sebulan untuk surau di Minangkabau kian berkurang. Tapi, menurutnya, semangat surau tetap terpelihara dengan baik.

Surau katanya, merupakan sebuah lembaga tua. Mungkin sebelum Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-13 sudah ada. “Tapi barangkali waktu itu namanya bukan surau,” katanya. Surau adalah kas Minangkabau yang penduduknya pemeluk Islam dan berpedoman pada mazhab Syafi’i.

“Mazhab lain tak mengenal surau. Muhammadiyah, misalnya, mengenal musala,” katanya.

Selain merupakan tempat untuk mendalami ajaran adat, surau terutama berperan sebagai tempat belajar agama. Segenap aktivitas keagamaan dipusatkan di surau. Jadi, menurut Buya Letter, tidak perlu heran jika salat lima waktu dilaksanakan di surau, bukan di masjid.

“Sampai sekarang, di Pariaman masjid hanya untuk salat Jumat,” katanya. Bahkan pada malam-malam bulan suci Ramadhan salat tarawih dan witir yang biasanya dilakukan 23 rakaat dilaksanakan di surau, tidak di masjid. Belakangan, garis keturunan menurut garis ibu, maka harta pusaka dimiliki wanita. Lelaki dengan demi-kian, tak punya apa-apa. Di atas segalanya, lelaki Minang santun kepada wanita, terutama wanita dari kaumnya. Adalah aib bagi seorang laki-laki tidur di rumah, sementara di rumah yang sama saudara wanita juga tidur.

“Padahal tiap kita akan punya kamar tidur, tapi tetap saja malu,” katanya. Karena itu, bagi lelaki Minangkabau, surau menjadi rumah kedua. Yang tidur di surau mulai dari remaja hingga orang tua. Bahkan termasuk para duda.

Karena itu pula merupakan kewajaran jika di surau bisa dilakukan banyak kegiatan. Surau punya andil yang besar dalam mendidik lelaki Minang bersilat lidah sebagai hal yang terpenting dalam menumbuhkan jiwa demokratis.

Demikian besarnya arti surau hingga perhatian pada lembaga tersebut tak diragukan lagi. “Dulu, tiap rumah memberikan sumbangan pada surau,” sebutnya.

Tapi kini, seperti diamati Buya, surau kalah dibanding musala, kendati di beberapa daerah lembaga tersebut tetap eksis. “Persoalannya tergantung pada guru dan pada kaumnya,” katanya lagi.

Menjadi Musala

Lain Buya Letter, lain lagi Drs Hawari Siddik. Menurut, budayawan yang sekaligus birokrat ini, surau sudah lama meninggalkan Minangkabau. “Kecuali di sejumlah nagari, mungkin masih ada surau dalam bentuk yang asli,” kata Asisten III Setwida tingkat I Sumatera Barat ini.

“Saya tidak lagi berjumpa dengan surau,” katanya. Usianya sudah 54 tahun dan ia mengaku belajar mengaji bukan di surau, melainkan di madrasah. Hawari sendiri berasal dari Birugo, Bukittinggi, sebuah kota yang berkembang jauh sebelum awal abad ini. Namun ia juga mengaku masih menjumpai orang-orang-orang seusianya yang pernah belajar di surau, tapi mereka kebanyakan tinggal di kampung-kampung.

Menurut Hawari, bekas-bekas surau yang ia temukan antara lain di Balimbiang, sebuah nagari tua di Kabupaten Tanah Datar. Ia memperkirakan dua generasi yang silam surau dalam artian yang sesungguhnya sudah habis. Ini disebabkan oleh pengaruh luar yang punya andil merombak beberapa struktur di Minangkabau.

“Saya pernah melihat surau di sebuah nagari. Surau itu milik sebuah suku dengan 8 rumah satu nenek. Mereka punya satu surau, tapi kini surau itu telah berubah menjadi rumah,” paparnya. Waktu itu, fungsinya, untuk tempat belajar adat dan agama khusus untuk kaumnya.

Kini, surau tersebut sudah beralih menjadi musala. Inilah yang menurut Hawari menjadi sebuah persoalan.

Bagi Hawari surau punya ikatan yang erat dengan sistem garis keturunan. “Di Minang ada rumah gadang milik kaum. Di rumah ini untuk berkomunikasi agak sulit, kurang lempang, sebab ada beberapa keluarga yang terdiri dari lelaki dan wanita tinggal bersama-sama di rumah besar tersebut.”

Meski garis keturunan menurut ibu dan harta pusaka dimiliki kaum wanita, tapi kendali adat ada di tangan laki-laki. Padahal, laki-laki di rumah gadang tidak memiliki posisi. “Rumah bukan milik laki-laki, jadi wajar mereka memilih surau.”

Dengan demikian, surau berfungsi sebagai tempat berdialog antara mamak (paman) dengan kemenakannya. Di surau pula mamak menuturkan dan mengajarkan ilmu adat kepada kemenakan lelakinya. Maka tak heran jika lunturnya tradisi surau dikhawatirkan akan berujung pada memudarnya ikatan kekerabatan yang khas Minangkabau. Termasuk terkikisnya pengetahuan tentang adat yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Minang. Surau, demikian Hawari, basisnya adalah adat.

Sebaliknya, Buya Letter menilai, jika pengetahuan adat memudar maka masyarakat akan kian renggang dengan surau. “Orang yang tahu adat, pasti tahu ajaran agama,” katanya.

Dalam kenyataan sekarang, Minangkabau sesungguh-nya tak lagi peduli dengan surau. Anak-anak belajar mengaji di musala  atau di taman pendidikan Alquran. Selain itu, seperti dikatakan Buya Letter dan Hawari, pekerjaan sebagai guru mengaji sekarang—karena tuntutan yang wajar—selalu dikaitkan dengan sumber nafkah. Padahal dulu mengajar anak mengaji dilandasi oleh keinginan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain.

Jika orang seperti Hawari Siddik tak lagi menemukan surau semua kecilnya, lalu bagaimana generasi sekarang?

“Rumah harus menjadi basis yang kuat bagi anak-anak untuk mendapatkan pelajaran agama,” kata Letter.

Untuk sebagian soal, jawaban tersebut cukup memuaskan. Tapi persoalan lainnya, yakni pelestarian adat, masih harus dicari solusinya.

Preman “Cap Gajah” Pun Mengaji di Surau

Surau adalah lembaga multifungsi. Tak ada desa yang tidak memilikinya. Dan malah di satu desa bisa didapat sampai 10 surau. Tapi sejarah tak selamanya linier. Seiring dengan perjalanan waktu yang mengiringinya, surau kian langka. Berikut komentar Haji Kamardi Rais Datuk P Simulie, 63 tahun, seorang pemuka adat dan agama, tokoh masyarakat, mantan Ketua PWI Sumatera Barat yang kini jadi anggota DPRD  Sumatere Barat.

Jika memang surau kita sudah roboh, yang bertugas mendirikannya kembali adalah generasi muda Minangkabau. Kami yang tua-tua hanya bisa mendorong dari belakang. Tanpa surau, generasi sekarang akan sangat merugi.

“Waktu saya kecil surau adalah tempat belajar, sekaligus tempat bermain. Surau adalah lembaga di mana seseorang ditempa untuk menjadi dewasa. Orang yang ke surau pastilah tahu agama, tahu adat, tahu persoalan-persoalan sosial.”

Surau memiliki fungsi yang banyak. Antara lain, sebagai musala, tempat salat, tempat mengaji, mulai dari mengenal huruf Alquran alif – ba – ta, sampai khatam 30 juz.

Mengaji di surau juga dimaksudkan untuk melatih anak-anak untuk menjadi qori dan qoriah yang menguasai tajwidnya. Adalah aib kalau ada anak Minang yang buta huruf Alquran. Dan sangatlah malu jika ada keluarga yang meninggal, apalagi orangtua, sebagai anak, kita tak bisa membacakan ayat suci untuknya.

Betapapun ia seorang parewa (preman), ia pasti bisa mengaji. Seorang “preman cap gajah” atau “preman taluak” sekalipun, harus bisa. Dulu ada kain plakat cap gajah yang dianggap nomor wahid. Kainnya kuat, liat, dan kokoh. Meski warna dan raginya sudah lusuh, namun kainnya tetap utuh, tak robek. Lalu preman kelas wahid tadi dijuluki “preman cap gajah”. Tentang ‘preman taluak’ saya lupa asal katanya. Pokoknya, premanpun pandai mengaji. Sebab di surau, usai mengaji makna, tafsir dan perukunan, seperti rukun salat, Islam, dan iman.

Fungsi lain surau pun banyak sekali. Misalnya, sekali seminggu, tiap petang Kamis malam Jumat atau Sabtu malam di surau hadir orang tua-tua, inyiak (kakek), datuak, mamak. Mereka bercerita tentang adat, silsilah keturunan, asal-usul, tambo, gurindam adat, petatah-petitih, bersilat lidah, ajaran etika dan budi.

Lalu pada bulan terang (10-15 bulan Qomariah) atau Ahad paginya, dilakukan latihan fisik bela diri silat, seperti silat Lintau, Kumango, Piaman, Pangian, dan silat lainnya. Pokoknya, anak-anak Minang di samping dididik di sekolah, dididik pula di surau, dengan harapan kelak ia tidak canggung menggapai kehidupan ini. Tidak gamang hendak tinggal di mana, di kampung atau di rantau.

Bak pepatah Minang, “Terdesak puting ke hulu, terdesak ikan ke empang”. Anak Minang tak boleh hilang akal. Misalnya, terdesak hidup, kalau tak bekerja tidak makan. Lalu orang menyuruh kita untuk membacakan sepotong doa. Maka preman sekalipun, ia pasti bisa berdoa. Disuruh jadi imam, ia bisa.

Selain itu, surau juga berfungsi sebagai tempat musyawarah, misalnya, membicarakan tentang turun ke sawah, gotong- royong, dan lain-lain. Kata surau, konon berasal dari kata Arab syura. Artinya, bermusyawarah. Musyawirhum fil amri, bermusyawarahlah setiap kali pekerjaan akan dilakukan. Waamruhum syura bainahum, dan pekerjaan dimusyawarahkan terlebih dahulu di antara mereka.

Yang terakhir, fungsi surau sebagai rumah kedua. Tempat tidur kaum lelaki, terutama bujang atau orang tua yang menduda. Di surau mereka berselimut kain panjang dan tikar.

Bisa jadi orang bilang, inilah sebuah tragedi lelaki Minang. Sebab sekaya apapun ia, kalau sudah duda, maka tidurnya di surau. Sebab tidur di rumah sendiri sangatlah malu, sebab di sana juga berdiam famili wanitanya.

Tapi, seperti badak, surau kini sudah langka, makanya perlu dilindungi dan dilestarikan. Dulu, tiap suku punya surau, misalnya surau Bodi, Caniago, Koto, Bendang, Piliang, dan lainnya. Sekarang mana ada.

“Saya banyak menemukan surau tua yang lapuk, kosong, dan roboh. Begitulah kondisinya sekarang. Saya setuju sekali jika surau dibangun kembali. Tapi apakah generasi muda mau untuk itu? Kalian ‘kan sibuk memikirkan karir, yang lain sibuk mencari lapangan kerja, studi, nagari ditinggalkan, sehingga menjadi sepi.”

“Padahal tak ada lembaga seefektif dan sebaik surau untuk pendidikan anak-anak. Di sana bekal hidup di dunia dan di akhirat bisa didapat. Tapi, saya sadar, nilai-nilai kini sudah bergeser,” terangnya.

“Apakah masih ada orang tua yang mau melepaskan anaknya belajar ke surau. Si anak membawa selimut, lalu tidur bersama di surau. Pagi-pagi siap pula berangkat sekolah. Adakah guru atau bapak asrama yang jadi pimpinan di surau? Dulu, mereka tak digaji. Untuk hidup, siang pergi ke sawah atau ladang. Sekarang saya kira tak bisa begitu.”

Kamardi menambahkan, dulu, semasa dia kanak-kanak, semua mendorongnya untuk ke surau.

“Tak ada hal-hal yang bisa menghambat atau membuat saya malas ke surau. Habis makan sore, berangkat ke surau. Sekarang, waktu anak-anak disita televisi. “Kotak ajaib” itu menayangkan aneka film yang disukai anak-anak. Mereka bergerombol nonton silat, kungfu, bahkan sampai film romantis. Jadi ini satu persoalan. Hal lain, anak-anak kini mengaji di TPA, sore, bukan malam. Jiwa surau sudah hilang,” katanya. (KJ)

 

Harian Republika, Padang, 8 November 1996

Sumber: Buku Khairul Jasmi Minangkabau dalam Reportase (Kumpulan Feature), Penerbit Kabarita Padang, Agustus 2014

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar